Jumat, 16 November 2007

cOwo lEbih cPet mAty daRipDa cWe...???

Seandainya anda belum sadar akan fakta ini, maka sekarang anda tahu: wanita pada umumnya berumur lebih panjang. Data statistik PBB pada tahun 2006 menunjukkan bahwa angka harapan hidup rata-rata wanita di seluruh dunia lebih tinggi 4,5 tahun daripada angka harapan hidup rata-rata pria (69,5 tahun versus 65 tahun). Di Indonesia sendiri angkanya tidak jauh berbeda. Sekarang pertanyaannya: Mengapa pria yang fisiknya secara kasatmata lebih kuat ternyata malah mati lebih cepat?
Pada awal kehidupan, jawaban yang bersifat biologis lebih mendominasi. Misalnya, pada 12 bulan pertama kehidupan saja, angka kematian bayi laki-laki 25-30 persen lebih tinggi daripada kematian bayi perempuan (faktor-faktor eksternal/kematian tak wajar dikecualikan). Salah satu penyebab biologisnya adalah gen: Wanita memiliki dua kromosom X (pria hanya punya satu), sehingga cacat bawaan yang terkandung dalam mutasi salah satu kromosom bisa di-cover oleh kromosom yang lain.
Faktor biologis lain yang mempengaruhi adalah hormon: Hormon estrogen yang dimiliki perempuan menjadi salah satu pelindung alami dari perkembangan penyakit jantung, dan perubahan kondisi tubuh perempuan sepanjang hidupnya (menstruasi, kehamilan, beranak, menopause) membuat tubuh mereka secara internal lebih ‘tahan banting’. Sebaliknya, hormon testosteron yang dimiliki pria malahan mendorongnya untuk melakukan berbagai aktivitas yang membuat jantung makin jedag-jedug, misalnya saja merokok, menyetir ugal-ugalan, berkelahi, atau aktif berburu pasangan.
Lho, mencari pasangan? Ya, beberapa penelitian menunjukkan bahwa kompetisi memperebutkan betina bisa menguras energi para pejantan, dan akhirnya memperpendek umur mereka. Contohnya bisa kita lihat di dunia binatang, seperti domba jantan yang saling adu kepala untuk memperebutkan betina. Tapi itu kan binatang? Di dunia manusia juga terjadi hal yang serupa, meski lebih halus dan kompleks. Ambisi untuk menggapai karir dan status sosial yang tinggi –yang tentu saja menjadi ‘nilai jual’ di mata pasangan dan calon mertua– bisa dijadikan contoh. Menariknya, di dunia binatang sendiri ditemukan kalau umur pejantannya semakin pendek apabila spesiesnya ‘menganut’ poligini, karena itu berarti persaingan akan lebih ketat lagi. Sayang belum ada penelitian serupa terhadap komunitas manusia yang poligininya sudah umum.
Sementara itu, faktor sosiokultural yang menyebabkan perbedaan angka harapan hidup terletak pada persepsi tubuh dan sikap terhadap kesehatan. Menurut Jacques Vallin, seorang demograf, wanita dan pria memiliki sikap yang berbeda terhadap tubuh mereka. Bagi wanita, kecantikan dan awet muda adalah nilai-nilai yang diutamakan, sementara pria menganggap penting kekuatan dan ketangguhan. Akibatnya, wanita lebih intens dalam merawat tubuhnya, sementara pria mengekspos tubuhnya pada lingkungan yang penuh tantangan dan risiko. Hal itu pula yang menyebabkan wanita lebih gampang ke dokter daripada pria. Mungkin para pria menganggap mengeluhkan gejala yang terasa remeh merupakan suatu bentuk kelemahan diri, sehingga mereka baru mau ke dokter ketika penyakitnya sudah cukup parah. Dengan semakin kompleksnya penyakit yang ada di zaman modern ini, tentu para wanitalah yang akhirnya mendapat manfaat maksimal dari penanganan medis sedini mungkin.

Tidak ada komentar: